Jegingger—novel Bekisar Merah dalam Bahasa Jawa dialek Banyumasan, Ahmad Tohari.
Novel Bekisar Merah
awalnya merupakan dwilogi dari Bekisar Merah (1993) dan Belantik (2001) dengan
cover yg berbeda pula. Lalu sejak tahun 2011, penerbit mencetaknya dalam satu
buku lengkap dan lebih tebal. Buku saya pun merupakan novel Bekisar Merah yg
sudah digabung dan merupakan cetakan kedua (2013). Bekisar Merah telah menjadi
primadona, bahkan sampai sekarangpun novel ini masih banyak jadi objek
penelitian, baik dilihat dari segi sastra, linguistik, sosial, budaya,
psikologi dan masih banyak yg lain. Saya pun termasuk yg menjadikan Bekisar
Merah sebagai objek dalam mengerjakan tugas akhir.
Jegingger.
Adalah Bekisar Merah yg
diterjemahkan ke dalam Bahasa Jawa sebagai objek penelitian tugas akhir saya
waktu itu. Dan berhasil saya selesaikan.
Bukan mau bahas tugas
akhirnya yhaaa ini, tolong fokus! J
Bekisar Merah maupun
Jegingger adalah novel yang dialih-bahasakan dari bahasa Indonesia ke dalam
bahasa Jawa. Berdasarkan diskusi dengan dosen pembimbing saya, novel Jegingger belum bisa dikatakan sebagai novel Jawa murni, tapi kalau novel yang telah dialihbahasakan dari bahasa Indonesia ke bahasa Jawa dialek Banyumasan,
baru bisa.
Bahasa Jawa yang
digunakanpun sesuai dengan di mana pengarang tinggal. Dengan luwes, Tohari
menulis terjemahan ke bahasa Jawa dengan menggunakan dialek ngapak. Dialek
ngapak atau Banyumasan –orang-orang sering mengatakan seperti itu. Saya pun
membaca novel Jawa hanya beberapa saja.
Garuda Putih
karya Suparto Broto
Katresnan kang
Angker karya Péni
Nglari Woting Ati karya
Fitri Gunawan
Candhikala Kapuranta karya Sugiarta Sribawana
Dari 4 novel yang
pernah saya baca, semuanya menggunakan bahasa Jawa dialek Jogja-Solo. Hal tersebut
dapat disimpulkan karena dilihat dari latar belakang penulis yang memang
berasal dari daerah wetanan. Dan novel-novel
tersebutlah yang dapat dikatakan sebagai novel Jawa ‘beneran’, bukan adaptasi
atau alihbahasa belaka.
Meskipun Jegingger
bukan murni novel Jawa, namun dengan adanya buku ini dapat memperkaya bacaan
yang berbahasa Jawa dialek ngapak. Dengan isi cerita yang sangat Njawani, dan dekat dengan kehidupan
sehari-hari.
Dari 5 buku berbahasa
Jawa, saya paling suka dengan novel Jegingger karya Ahmad Tohari dan Nglari Woting Ati karya Fitri Gunawan. Alasannya
simple; ceritanya bagus dan menarik.
Sudah 24 tahun sejak
pertama terbit, dan bagaimana bisa saya baru baca cerita bagus seperti ini? Hm.
Am I alone? Atau banyak dari readers yg baru, akan dan merencanakan
dekat-dekat ini untuk menyelam di kehidupan Lasi, Darsa dan Kanjat?
Here we go.
Buku ini layak baca untuk usia 17+
Seperti novel karya
Ahmad Tohari lainnya yg menjadikan pedesaan sebagai latar utama, buku Bekisar
Merah atau Jegingger pun memiliki latar yg sama seperti itu. Berbagai
permajasan akan banyak ditemukan jika dibaca dengan cermat. Ialah majas
metafora, simile, personifikasi, metonimi, dan masih banyak lagi. Ketika membaca,
tidak seharusnya kita hanya semata-mata ingin mengetahui akhirnya. Tapi cobalah
pahami gaya kepenulisan dari penulis X tentu akan berbeda sensasinya seperti
ketika kita membaca dari penulis Y. Dari pengalaman membaca Bekisar Merah, saya
banyak menggarisbawahi kalimat-kalimat(tentu mereka bermajas) yg membuat saya
senyum-senyum sendiri.
‘…bagian
lantai tanah rumah Lasi tampak basah karena genting di atasnya bocor. Udara
sangat dingin, namun pagi ini Lasi dan Darsa sama-sama mandi keramas.’
‘Usianya
pasti diatas lima puluh. Segalanya sudah kombor dan kendur. Kecuali birahinya.’
‘Ada
daya tarik yang anehpada kontraswarna rambutyang pekat dengan kulit tengkuk
Lasi yang putih, lebih putih dari tengkuk perempuan manapunyang pernah dilihat
oleh Darsa.’
Kekaguman saya terhadap
novel ‘dewasa’ adalah pada saat penulis membuat kalimat yang berbunga-bunga,
geli, lucu, berbelit-belit namun tetap terlihat indah. Jika diibaratkan
indomie, tulisan Tohari adalah indomie goreng+telur+sawi+boncabe yang membuat
penikmatnya tidak segan membaca karyanya lagi dan lagi.
Diceritakan dalam
Bekisar Merah, Darsa merupakan petani air nira. Atau di tempat saya disebut
dengan tukang nderes. Kehidupan di
Bekisar Merah dengan jelas Tohari menggambarkan kesengsaraan sebagai orang desa
yang tak punya keterampilan. Memang pada faktanya, di daerah saya pun lumayan
banyak petani nira seperti Darsa yang bernasib sama. Serba kekurangan di setiap
harinya. Padahal mereka pergi dari pagi sampai sore. Dan tidak pernah menjadi
kaya kecuali para pengepulnya.
Keadaan yang seperti
itu membuat tidak adanya generasi selanjutnya yang menjadi petani nira, dan
pengolah gula jawa. Karena penghasilan yang di dapat tidak pernah setimpal
dengan keringat yang mereka keluarkan. Alhasil? Sekarang harga gula Jawa
melambung tinggi. Itupun gula Jawa tidak murni lagi, namun dicampuri dengan
antah brantah hingga bentuknya cantik. Cantik yang tidak murni. Semua berubah
seiring berjalannya waktu.
Tohari mengemas sisi
kemiskinan seperti Darsa, cendekiawan seperti Kanjat, keluguan seperti Lasi
dalam satu wadah yang menawan. Selain dilihat dari permasalahan yang kompleks
di Ibukota, Tohari juga menyisipkan permasalahan kompleks dari sisi lain yg ada
di daerah pinggiran. Hal ini patut untuk readers
pahami dan cermati, celah mana saja yang dapat ditelusuri untuk diambil
sebagai kajian penelitian maupun pelajaran hidup.
Bagian apa saja yg saya
lewatkan dalam mengulas Bekisar Merah atau Jegingger ini ya readers? Lalu, kira-kira buku apa yg
harus saya ulas dalam minggu ini? Silakan tulis komentar kalian di bawah ini
yaaa J
Keyword: review Bekisar
merah, review Jegingger, novel Ahmad Tohari, kajian skripsi sastra.
Komentar